Rabu, 04 Februari 2015

MANAJEMEN OPERASI PENANGKAPAN

MANAJEMEN OPERASI PENANGKAPAN


PERMASALAHAN ILLEGAL FISHING
DAN KELAUTAN INDONESIA





Dosen Pengampu:
Ir. Hari Subagio


Oleh:

ISMAIL TUEN LAMABLAW
 ( 2011.02.5.008 )



Jurusan Perikanan
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan
Universitas Hang Tuah
Surabaya
2013
Kata Pengantar

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan Rahmat serta HidayahNya dan tidak lupa sholawat serta salam penyusun haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penyusun makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun berdasarkan tugas Manajemen Operasi Penangkapan Ikan. Dalam penyelesaian tugas ini kami sampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat Bapak Ir. Hari Subagio.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sesempurna dari apa yang diharapkan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan bagi penyempurnaan makalah ini yang bersifat membangun.
Akhir kata, penyusun mohon maaf apabila dalam penulisan terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca.






Surabaya,   Mei  2013

            Penyusun



DAFTAR ISI

KATA  PENGANTAR..............................................................................   i
DAFTAR ISI...............................................................................................   ii

BAB I..... PENDAHULUAN......................................................................   1
1.1.... Latar belakang.............................................................................   1
1.2.... Rumusan Masalah........................................................................   3 
1.3.... Maksud........................................................................................   3
1.4.... Tujuan..........................................................................................   3

BAB II .. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................   4
2.1.... IUU Fishing................................................................................   4
2.2.... Pengertian Illegal Fishing............................................................   5
2.3.... Situasi Perikanan Nasional..........................................................   7
2.3.... Dampak Perikanan Illegal............................................................   8
2.4.... Faktor -faktor Illegal Fishing......................................................   9

BAB III . PEMBAHASAN.........................................................................   11
3.1.... Potensi Kelautan..........................................................................   11
3.2.... Kendala Kelautan........................................................................   12
3.3.... Permasalahan Batas Laut.............................................................   13
3.4.... Permasalahan IUU Fishing..........................................................   14
3.5.... Upaya Mengatasi Illegal Fishing.................................................   16

BAB IV . KESIMPULAN DAN SARAN.................................................   18
4.1.... Kesimpulan..................................................................................   18
4.2.... Saran............................................................................................   18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 19



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi dengan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam. Keanekaragaman sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun sumberdaya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2 dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari1.650 jenis spesie ikan (Burke et al, 2002 dalam Zainarlan, 2007).
Kekayaan sumberdaya hayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat bermanfaat jika dilakukan pemanfaatan secara optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdaya hayati perairan ini dapat dilakukan melalui proses penangkapan yang bertanggung jawab. Penangkapan ikan yang dilakukan adalah proses pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat ekonomis dari perairan secara bertanggung jawab. Dalam melakukan proses penangkapan, nelayan harus mengikuti peraturan yang berlaku. Salah satu peraturan yang mengatur mengenai kegiatan penangkapan adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu prinsip-prinsip tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab. Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek penangkapan yang bertanggung jawab dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian.
Proses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya untuk ikan-ikan karang saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya kebutuhan dan permintaan pasar untuk ikan-ikan karang serta persaingan yang semakin meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan nelayan melakukan kegiatan eksploitasi terhadap ikan-ikan karang secara besar-besaran dengan menggunakan berbagai cara yang tidak sesuai dengan kode etik perikanan yang bertanggung jawab. cara yang umumnya digunakan oleh nelayan adalah melakukan illegal fishing yang meliputi pemboman, pembiusan, dan penggunaan alat tangkap trawl. Semua cara yang dilakukan oleh nelayan ini semata-mata hanya menguntungkan untuk nelayan dan memberikan dampak kerusakan bagi ekosistem perairan khususnya terumbu karang.
Masalah IUU Fishing ataupun yang lebih umumnya dikenal adalah Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Hingga sekarang pun IUU fishing masih sulit untuk di berantas. Berita penangkapan kapal asing oleh patroli kita, akhir-akhir ini sering terdengar. Akan tetapi tetap masih saja ada kapal-kapal asing yang masuk wilayah RI atau berita pengeboman ikan atau berita nelayan kita yang menggunakan API terlarang.
Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfishing, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya dengan baik.
Kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY(maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang di curi dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 trilyun.

1.2       Rumusan Masalah
Apa yang menyebabkan Illegal Fishing dan upaya apakah yang bisa dilakukan untuk mengurangi adanya Illegal Fishing.

1.3              Maksud
Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya Illegal Fishing.

1.4       Tujuan
Mengidentifikasi upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya Illegal Fishing.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       IUU Fishing
Tantangan yang dihadapi untuk dapat mengelola sumber daya ikan secara berkelanjutan di perairan Indonesia menjadi sangat berat karena maraknya praktek-praktek penangkapan ikan yang oleh dunia internasional disebut sebagai kegiatan perikanan yang illegal, unreported and unregulated (lUU-fishing). Menurut kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Echols and Shadily, 2002), kegiatan illegal berarti Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan berbendera asing atau berbendera Indonesia di WPP-RI tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkataan unreported bermakna Kegiatan penangkapan ikan yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional, unregulated. Kegiatan penangkapan ikan pada suatu area penangkapan atau stok ikan di WPP-RI, yaitu :
1.    Yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan.
2.    Dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung-jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumberdaya ikan sesuai hukum internasional.
Dalam perspektif pengelolaan perikanan di Indonesia, definisi FAO tentang kegiatan illegal dengan mudah dipahami karena memiliki definisi yang tidak berbeda yaitu segala bentuk kegiatan yang melanggar hukum/peraturan yang ada, namun pemahaman unreported dan unregulated dalam konteks hukum perikanan di Indonesia belumlah didefinisikan secara jelas.




2.2       Pengertian Illegal Fishing
Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal, tidak sah, haram, menyalahi aturan baik dari segi peralatan ataupun segi perundang-undangan. Kegiatan illegal fishing banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan asing misalnya dari Vietnam, Thailand dan Phillipina. Menurut data yang ada di Indonesia akibat dari illegal fishing yaitu kehilangan 6 juta ton ikan atau setara 30 triliun rupiah per tahun. Bayangkan, apabila hal ini diambil oleh nelayan kita , maka jelas nelayan kita akan lebih sejahtera. Terjadi illegal fishing  karena banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain lemahnya peraturan peraturan yang diterapkan kepada kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia. Seharusnya kita bisa bertindak seperti yang dilakukan Australia. Lemahnya pengawasan karena keterbatasan kapal-kapal patrol untuk memantau zona penangkapan ikan atau fishing ground dalam wilayah ZEE kita. Kapal asing mempunyai kemampuan dan mesin yang jauh lebih besar serta teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan nelayan kita. Pencurian yang dilakukan oleh nelayan asing dilakukan terhadap ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. oOleh sebab itu kondisi nelayan kita tidak berangsur menjadi baik. Di samping kapal asing, ada juga kapal nelayan kita sendiri yang melakukan illegal fishing, misalnya dengan penggunaan trawl atau pukat harimau yang mempunyai dampak merusak ekologi laut, penggunaan bom ikan, dan penggunaan bahan-bahan kimia beracun untuk mendapatkan ikan. 
Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2001 merumuskan satu panduan khusus untuk mengatasi kegiatan IUU-fishing di samudra dunia. Panduan tersebut diberi nama "International Plan of Action to Prevent, Determine and Eliminate IUU-fishing (IPOA-IUU-fishing)". Penyusunan pedoman tersebut bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan IUU fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya perikanan yang komprehensif, terintegrasi, efektif, transparan serta memperhatikan kelestarian sumber daya bagi negara-negara perikanan dunia. Naskah panduan tersebut disepakati oleh Committee on Fisheries (COFI) dari FAO secara konsensus pada tanggal 2 Maret 2001 (FAO, 2001).
Dokumen tersebut pada bagian awalnya berisikan pemahaman mengenai arti dari istilah illegal, unreported dan unregulated. Menurut panduan tersebut istilah atau defenisi perikanan IUU:
(1)   Kegiatan   perikanan   yang   termasuk   kategori   illegal   adalah   kegiatan penangkapan ikan yang:
a)     Dilakukan oleh kapal-kapal nasional maupun kapal asing di perairan di dalam yuridiksi satu negara tanpa izin dari negara tersebut ataupun bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di negara tersebut.
b)   Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut, ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku lainnya yang relevan.
c)    Bertentangan dengan hukum  nasional atau pun kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dianut oleh negara-negara yang menyatakan bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait.
(2)     Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori unreported mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
a)    Tidak melaporkan atau sengaja memberi data yang salah dalam melaporkan kegiatannya pada institusi nasional yang relevan, yang mana bertentangan dengan hukum dan perundangan yang berlaku di negara tersebut.
b)   Dilakukan di dalam wilayah, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan diri dari organisasi tersebut.
(3)      Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori unregulated mengacu pada kegiatan penangkapan ikan, antara lain:
a)    Di area dalam peraturan organisasi pengelolaan perikanan regional oleh kapal tanpa nasionalitas, atau kapal berbendera negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan program-program pengelolaan dari organisasi tersebut.
b)   Di area atau terhadap stok ikan yang tidak diatur pengelolaan dan konservasinya, dimana sifat kegiatan tersebut bertentangan dengan tanggungjawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut. Beberapa kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated) diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum internasional yang berlaku.


Diharapkan IPOA-IUU fishing dapat dipandang sebagai salah satu instrumen yang berguna untuk mengatasi masalah IUU fishing. Instrumen-instrumen tersebut tidak semua akan sesuai digunakan di berbagai situasi dan di tiap perairan. Kehadiran panduan diharapkan sebagai berikut:
(1) Membantu negara-negara anggota FAO untuk lebih mengenai berbagai instrumen yang tersedia.
(2) Memberi saran tentang instrumen yang sesuai dengan situasi dan kondisi perairan tertentu dan kondisi negara.
(3) Memberikan arahan tentang bagaimana menggunakan instrumen tersebut secara efektif. Panduan tersebut menghendaki setiap negara perikanan dunia menyusun program penanggulangan masalah lUU-fishing di wilayahnya sesegera mungkin, tidak lebih dari tiga tahun sejak dokumen tersebut diadopsi.

2.3       Situasi Perikanan Nasional
Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi  full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa di kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini.

Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun, maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan yaitu : ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.

2.4       Dampak Perikanan Ilegal
Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia.  Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia.


Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah  (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.

2.5       Faktor-Faktor Ilegal fishing
Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di perairan Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pertama, Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.
Kedua, Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.
Ketiga, Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.
Keempat, Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.
Kelima, Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
Keenam, Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah Kapal) Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
Ketujuh, Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1       Potensi Kelautan
Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi :
1.  Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,
2.  600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
3.  Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,
4.  Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
5.  Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
6.  Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
7.  Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.
8.  Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG

3.2       Kendala Kelautan
Kendala bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain :
1.  Kehancuran sebagian terumbu karang yang memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar,
2.  Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,
3.  Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan,
4.  Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing,
5.  Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,
6.  Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,
7.  Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut,
8.  Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).
Fauzi, Akhmad, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia, Jakarta.

3.3       Permasalahan Batas Laut
Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap Pertahanan Keamanan Negara menurut ketentuan Hukum Laut Internasional (Hukla 1982), ada tiga jenis batas laut, yaitu :
1 Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.
2.    Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.
3.    Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.
Fauzi, Akhmad, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia, Jakarta.




3.4       Permasalahan IUU Fishing
Masalah-masalah yang berkaitan dengan IUU fishing di Indonesia antara lain disebabkan karena adanya kendala-kendala dalam penanganannya. Mukhtar (2008) mengemukakan kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan IUU fishing di Indonesia yaitu:
(1)   Lemahnya pengawasan karena masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah, dan belum berkembangnya lembaga pengawasan; Penerapan Monitoring and Controlling System yang belum sempurna.
(2)   Belum tertibnya perizinan yang tergambar dari adanya pemalsuan dan penggandaan izin.
(3)   Lemahnya Law Enforcement karena wibawa hukum menurun.
(4)   Ketidakadilan bagi masyarakat.
(5)   Maraknya pelanggaran & aktivitas-aktivitas ilegal.

Masalah-masalah IUU fishing yang dijelaskan di atas, umumnya terjadi di wilayah-wilayah     perbatasan.     Kecenderungan     masalah-masalah     tersebut, khususnya di wilayah perbatasan disebabkan oleh eksistensi wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang penting untuk dimanfaatkan.
Dalam Lembaran Fakta yang disusun DKP-RI melalui Direktorat Jenderal P2SDKP pada siaran persnya tanggal 3 Maret 2008 (DITJEN P2SDKP, 2008), terdapat empat persoalan utama yang berkaitan dengan IUU fishing, antara lain :
(1)   Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing merupakan permasalahan global   (menjadi   isu   internasional)   dalam   pembangunan   kelautan   dan perikanan. Kegiatan IUU fishing mengakibatkan kerugian ekonomis, kerugian sosial, rusaknya terumbu karang, berkurangnya jumlah ikan dunia secara signifikan dan menyulitkan upaya negara-negara dalam mengelola sumber daya perikanan di laut yang berada dalam yuridiksinya. Menurut catatan The Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah IUU fishing diperkirakan seperempat dari jumlah total penangkapan ikan dunia dengan kecenderungan jumlah yang terus meningkat dari sisi kuantitas maupun cakupannya;
(2) FAO pada tahun 1999 telah merumuskan upaya-upaya penanganan permasalahan IUU fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action (IPOA) dengan tetap mengacu kepada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Disamping itu dunia internasional telah pula menyelenggarakan beberapa konvensi internasional yang melibatkan negara-negara di dunia dalam upaya merumuskan aksi penanggulangan IUU fishing. Karena sifatnya yang luas, ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konvensi tersebut cenderung masih bersifat sektoral dan lebih terfokus pada kepentingan negara-negara maju ketimbang kepentingan negara berkembang. Disamping itu, peraturan dan kebijakan penanggulangan IUU fishing di masing-masing negara berbeda satu sama lain, sehingga kerapkali memicu terjadinya perbedaan cara pandang dan tindak bagi negara yang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya berbatasan secara langsung;
(3)   Hasil operasi kapal pengawas P2SDKP tahun 2007 telah berhasil melakukan penangkapan sebanyak 184 kapal perikanan dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa oleh kapal pengawas dengan rincian bahwa pada tahun 2007 jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) mencapai 212 buah kapal yang ditangkap sebanyak 89 buah kapal, sedangkan untuk kapal ikan Indonesia (KII) sebanyak 1995 buah dan yang ditangkap sebanyak 95 buah kapal. Dari hasil tersebut diperkirakan kerugian negara yang dapat terselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar. Kerugian negara tersebut terdiri dari Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) sebesar Rp. 34 miliar, subsidi BBM senilai Rp. 23,8 miliar dan sumber daya perikanan yang terselamatkan sebesar Rp. 381 miliar. Nilai sumber daya ikan tersebut bila dikonversikan dengan produksi ikan sekitar 43.208 ton. Produksi tersebut bila dimanfaatkan diperkirakan mampu menyerap sekitar 17.970 tenaga kerja baik di sub sektor perikanan tangkap, pengolahan, jasa kelautan dan pendukung;
(4) Pada tahun 2007, kasus yang ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan sebanyak 150 kasus. Kasus/pelanggaran yang terjadi umumnya berupa tidak memiliki dokumen perizinan (63 kasus), tidak berizin dan memiliki alat tangkap terlarang (27 kasus), dokumen tidak lengkap (128 kasus) serta pelanggaran fishing ground (10 kasus). Dari 150 kasus tersebut, 122 kasus sedang dalam proses hukum, 4 kasus pada tahap klarifikasi dan 24 kasus tidak diproses secara hukum (proses pembinaan). Kasus-kasus yang diproses secara hukum diantaranya 69 dalam proses penyidikan, 22 kasus telah dalam tahap P-21, 3 kasus dalam proses persidangan serta 28 kasus telah mendapatkan putusan pengadilan. Dari berbagai operasi yang telah dilakukan oleh DKP sepanjang 2007 dengan didukung oleh alokasi anggaran APBN sebesar Rp. 254 miliar, telah berhasil menangkap dan menyidang sebanyak 184 buah kapal, dengan total kerugian Negara yang berhasil terselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar.

3.5       Upaya Mengatasi Illegal Fishing
Kegiatan Illegal Fishing telah memberikan banyak kerugian bagi negara, sehingga pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mulai menyusun program pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan. Upaya pengawasan ini juga menjadi prioritas dalam memberantas Illegal Fishing dan di harapkan dapat meminimalisir jumlah pelanggaran yang terjadi. Adapun upaya untuk mengatasi permasalahan Illegal Fishing  diantaranya:
1. Perbaikan regulasi atau pengaturan terhadap kapal-kapal asing. Diupayakan ada penegakan hukum yang lebih baik sehingga dapat menimbulkan efek jera terhadap kapal illegal fishing.
2. Patroli oleh penegak hukum di Indonesia dengan serius dan secara terus menerus. Apabila hal ini dilakukan maka kesejateraan nelayan kecil akan meningkat. Menurut pengalaman, kata sekjen DKP : dengan adanya operasi di laut Natuna , pendapatan nelayan kita mejadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum adanya operasi. Ikan –ikan besar yang ditangkap nelayan asing sebelum adanya operasi, sekarang bisa ditangkap oleh nelayan kita. 
3. Harus ada penguatan terhadap armada penangkapan ikan nasional. Terutama di bidang pengadaan kapal yang lebih besar dan teknologi yang lebih maju. Lemahnya nelayan di bidang permodalan menyebabkan nelayan tidak bisa berkembang. Diharapkan ada bank yang mau membantu nelayan dalam bidang permodalan. Tentunya dalam hal ini pemerintah bisa membantu dengan mengeluarkan peraturan kepada bank untuk mau terjun ke sector nelayan.
4. Mencukupi kebutuhan dasar nelayan di antaranya BBM.
5. Sarana dan prasarana : adanya tempat pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, cold storage . Apabila kebutuhan nelayan dapat dipenuhi dengan mudah secara otomatis kesejahteraan nelayan akan meningkat, sehingga bisa mengadakan ekspansi usahanya.
6. Diadakan upaya penyadaran terhadap nelayan kita agar tidak menggunakan alat-alat tangkap ikan yang bisa merusak ekologi dan bisa merusak siklus kehidupan ikan, sehingga sumber penghidupan nelayan bisa tetap terjaga.












BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1       Kesimpulan
Permasalahan terkait dengan IUU baik itu illegal fishing, ataupun yang sejenisnya merupakan masalah kita bersama. Masalah tersebut bisa saja teratasi manakala kita bangsa Indonesia khususnya pemerintah melakukan perbaikan diberbagai bidang kelautan. Misalnya dalam keamanan kelautan, pengadaan kapal-kapal patroli yang modern ataupun tindakan hukum yang tegas dan jelas. Supaya kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing tersebut jera. Akan tetapi hal-hal tersebut tidak akan bisa tercapai jika tidak ada kerjasama antara kita selaku masyarakat khususnya masyarakat pesisir pantai (nelayan).
intinya

4.2       Saran
Melihat dari letak geografis Negara Indonesia yang di hubungkan oleh laut demi laut. Maka keamanan dalam memantau daerah perbatasan baik itu ZEE maupun BPN merupakan faktor terpenting dalam menangkal aksi illegal fishing yang banyak dilakukan oleh nelayan asing. Selain itu pengadaan armada patroli baik berupa kapal patroli atupun satelit pengintai laut juga tidak kalah penting dan seharusnya Indonesia sudah mempunyai keamanan ataupun pertahanan laut yang mumpuni, jika melihat letak Negara yang sangat strategis.








DAFTAR PUSTAKA

Maimuna Renhoran, SH. Dosen Politeknik Perikanan Negri Tual. Mahasiswa Pascasarjana Hukum Transnasional Universitas Indonesia.

Anonimous. 2009. Illegal Fishing.
Diakses 15 April 2013

Anonimous. 2011. Ilegal Fishing di Indonesia.
            Diakses 7 Maret 2013

Anonimous. 2012. Makalah Ilegal Fishing.
            Diakses 17 Maret 2013

Anonimous. 2012. Rencana Aksi Internasional untuk Mencegah, Deter, dan Hilangkan Ilegal, Unreported and Unregulated Fishing. http://www.fao.org/fishery/ipoa-iuu/en . Diakses 15 April 2013

Anonimous. 2009. Tentang Illegal Fishing.
Diakses 15 April 2013